Konsep Pendidikan

A. Konsep Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan

Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan.

Pendidikan bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus dapat meramalkan berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat dikuasai oleh anak didik.

Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai. Dilihat dari sudut perkembangan yang dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam setiap periode perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.

Branata (1988) mengungkapkan bahwa Pendidikan ialah usaha yang sengaja diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendapat diatas seajalan dengan pendapat Purwanto (1987 :11) yang menyatakan bahwa Pendidikan adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.

Kleis (1974) memberikan batasan umum bahwa :

”pendidikan adalah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami seseuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami. Pengalaman itu terjadi karena ada interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungannya”.

Proses belajar akan menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif (penalaran, penafsiran, pemahaman, dan penerapan informasi), peningkatan kompetensi (keterampilan intelektual dan sosial), serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan dan perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon sesuatu rangsangan (stimuli).

Orang yakin dan percaya untuk menanggulangi kemiskinan, cara utama adalah dengan memperbesar jumlah penduduk yang bersekolah dan terdidik dengan baik. Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai jalan menuju kemakmuran.

Manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Dia sangat membutuhkan bantuan yang penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, terutama ibunya, supaya dia dapat hidup terus dengan sempurna, jasmani dan rohani. Orang tualah yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Dalam ilmu jiwa dikenal dengan istilah pertumbuhan dan perkembangan, yaitu supaya anak sempurna dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Pertumbuhan ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada jasmani; bertambah besar dan tinggi. Perkembangan lebih luas dari pertunbuhan ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada rohani dan jasmaniah. Dengan kata lain, perkembangan merupakan suatu rentetan perubahan yang sifatnya menyeluruh dalam interaksi anak dan lingkungannya.

Oleh karena itu Idris (1982:10) mengemukakan bahwa :

”Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik yang secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memebrikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Potensi disini ialah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan, dan keterampilan.”

2. Tujuan Pendidikan

Telah kita ketahui bersama bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan tergantung kepada jelas tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh orang atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan pada pernyataan ini, maka perlunya suatu tujuan dirumuskan sejelas-jelasnya dan barulah kemudian menyusun suatu program kegiatan yang objektif sehingga segala energi dan kemungkinan biaya yang berlimpah tidak akan terbuang sia-sia.

Apabila kita mau berbicara tentang pendidikan umumnya, maka kita harus menyadari bahwa segala proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat menyediakan atau menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan bangsa, negara, dan tanah air. Apabila negara, bangsa dan tanah air kita membutuhkan tenaga-tenaga terdidik dalam berbagai macam bidang pembangunan, maka segenap proses pedidikan termasuk pula sistem pendidikannya harus ditujukan atau diarahkan pada kepentingan pembangunan masa sekarang dan masa-masa selanjutnya.

GBHN tahun 1999 mencantumkan tentang tujuan pendidikan nasional :

Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa

Selanjutnya tujuan pendidikan nasional tercantum dalan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang menyatakan:

”Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Pernyataan-pernyataan diatas tampak jelas bahwa pendidikan harus mampu membentuk atau menciptakan tenaga-tenaga yang dapat mengikuti dan melibatkan diri dalam proses perkembangan, karena pembangunan merupakan proses perkembangan, yaitu suatu proses perubahan yang meningkat dan dinamis. Ini berarti bahwa membangun hanya dapat dilaksanakan oleh manusia-manusia yang berjiwa pembangunan, yaitu manusia yang dapat menunjang pembangunan bangsa dalam arti luas, baik material, spriritual serta sosial budaya.

Sejarah pendidikan kita dapat menerapkan perkembangan pendidikan dan usaha-usaha perwujudannya sebagai suatu cita-cita bangsa dan negara, masyarakat atau masa dan memberikan ciri khas pelaksanaan pendidikannya.

Setiap tindakan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses menuju kepada tujuan tertentu. Tujuan ini telah ditentukan oleh mssyarakat pada waktu dan tempat tertentu dengan latar belakang berbagai macam faktor seperti sejarah, tradisi, kebiasaan, sistem sosial, sistem ekonomi, politik dan kemauan bangsa.

Berdasarkan faktor-faktor ini UNESCO telah memberikan suatu deskripsi tentang tujuan pendidikan pada umumnya dan untuk Indonesia sendiri tujuan itu telah ditetapkan dalam ketetapan MPR.

Pertama, UNESCO menggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai ”menuju Humanisme Ilmiah”. Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka humanisme ilmiah menolak ide tentang manusia yang bersifat subjektif dan abstrak semata. Manusia harus dipandang sebagai mahluk konkrit yang hidup dalam ruang dan waktu dan harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat yang tidak boleh diobjekkan. Dalam kerangka ini maka tujuan sistem pendidikan adalah latihan dalam ilmu dan latihan dalam semangat ilmu.

Kedua, pendidikan harus mengarah kepada kreativitas. Artinya, pendidikan harus membuat orang menjadi kreatif. Pada dasarnya setiap individu memiliki potensi kreativitas dan potesi inilah yang ingin dijadikan aktual oleh pendidikan. Semangat kreatif, non konformist dan ingin tahu, menonjol dalam diri manusia muda. Mereka umumnya bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang ada dan jika mereka menemukan bahwa nilai-nilai itu sudah ketinggalan jaman, maka mereka ingin merombaknya. Disini pendidikan berfungsi ganda, menyuburkan kreativitas, atau sebaliknya mematikan kreativitas.

Ketiga, tujuan pendidikan harus berorientasi kepada keterlibatan sosial. Pendidikan harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dengan amsyarakat secara bertanggung jawab. Dia tidak hanya hidup dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur sosial itu. Disini seorang individu merealisir dimensi-dimensi sosialnya lewat proses belajar berpartisipasi secara aktif lewat keterlibatan secara meyeluruh dalam lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini, suatu misi pendidikan ialah menolong manusia muda melihat orang lain bukan sebagai abstriaksi-abstraksi, melainkan sebagai mahluk konkrit dengan segala dimensi kehidupannya.

Keempat, tekanan terakhir yang digariskan UNESCO sebagai tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia sempurna. Pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi-potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, yang tahu kadar kemampuannya, dan batas-batasnya, serta kerhormatan diri. Pembentukan manusia sempurna ini akan tercapai apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang harmonis dan integral antara dimensi-dimensi manusiawi seperti dimensi fisik, intelektual, emosional, dan etis. Proses ini berlangsung seumur hidup. Jadi konkritnya pada pokoknya pendidikan itu adalah humansisasi, karena itu mendidik berarti ”memanusiakan manusia muda dengan cara memimpin pertumbuhannya sampai dapat berdikari, bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri”. (Ibid, 1980)

3. Jalur Pendidikan

Tuntutan masyarakat akan kebutuhan pendidikan membuat pendidikan terus berkembang sejalan dengan pembangunan ansioanl. Pendidikan menjadi kunci kemajuan dan keberhasilan dari suatu pembangunan sebuah negara. Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan maka di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional No.20 tahun 2003 terdapat jalur pendidikan yang didalamnya terdapat pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal disebut pula sistem pendidikan sekolah. Pendidikan nonformal dan informal disebut pula sistem pendidikan luar sekolah.

Untuk lebih membedakan ketiga jenis satuan pendidikan diatas maka harus ada kriteria yang lebih umum untuk dapat membedakan ketiganya. Oleh karena itu Coombs (1973) membedakan pengertian pendidikan sebagai berikut

”Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dengan sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus”.

Walaupun masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, namun kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat dan saat yang sangat strategis bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina seseorang dalam menghadapi masa depannya.

Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga asetiap orang memperoleh nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media masa

Walaupun demikian, pengaruhnya sangatlah besar dalam kehidupan seseorang, karena dalam kebanyakan masyarakat pendidikan informal berperan penting melalui keluarga, masyarakat, dan pengusaha. Pendidikan dalam keluarga adalah yang pertama dan utama bagi setiap manusia. Seseorang kebanyakan berada dalam rumah tangga dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Sampai umur tiga tahun seseorang akan selalu berada di rumah tangga. Pada masa itulah diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang, psikiater, kalau menemui suatu penyimpangan dalam kehidupan seseorang, akan mencari sebab-sebabnya pada masa kanak-kanak orang itu. Coombs dalam Sudjana (2001:22) :

”Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”.

Bagi masyarakat Indonesia, yang masih banyak dipengaruhi proses belajar tradisional, pendidikan nonformal akan merupakan cara yang mudah sesuai dengan daya tangkap rakyat, dan mendorong rakyat menjadi belajar, sebab pemberian pendidikan tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan lingkungan dan kebutuhan para peserta didik.

Ketiga pengertian diatas dapat digunakan untuk membedakan karakteristik dari setiap jalur pendidikan. Namun, Axinn (1974) membuat penggolongan program-program kegiatan termasuk ke dalam pendidikan formal, nonformal dan informal dengan menggunakan kriteria ada atau tidak adanya kesengajaan dari kedua belah pihak yang berkomunikasi, yaitu pihak pendidika (sumber belajar atau fasilitator) dan pihak peserta didik (siswa atau warga belajar).

Kegiatan yang ditandai adanya kesengajaan dari kedua belah pihak yaitu pihak pendidik yang sengaja membelajarkan peserta didik, dan peserta didik yang senagja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan, pembelajaran dan pelatihan dari pendidik, maka kegiatan tersebut digolongkan kedalam pendidikan formal atau penddiikan informal. Apabila kesengajaan itu hanya timbul dari pihak pendidik untuk membantu peserta didik guna memperoleh pengalaman, sedangkan pihak peserta didik tidak sengaja untuk belajar sesuatu dengan bantuan pendidik, maka kegiatan ini termasuk ke dalam pendidikan informal. Demikian pula apabila hanya pihak peserta didik yang bersengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan seorang pendidik sedangkan pihak pendidik tidak sengaja untuk membantu peserta didik tersebut, maka kegiatan ini tergolong pula ke dalam pendidikan informal. Namun apabila suatu peristiwa belajar terjadi tanpa kesengajaan dari pihak pendidik dan pihak peserta didik maka kegiatan ini digolongkan pada pembelajaran secara kebetulan.

B. Konsep Pendidikan Luar Sekolah

1. Definisi Pendidikan Luar Sekolah

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 mencantumkan bahwa :

“Sistem pendidikan nasional merupakan sistem terencana yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat Pancasila”.

Untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional, telah dibentuk subsistem pendidikan sekolah dan subsistem pendidikan luar sekolah. Kedua sistem pendidikan tersebut memiliki kedudukan yang sama dalam sistem pendidikan nasional.

Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu dari sistem pendidikan nasional. Ruang lingkupnya sangat luas dan kompleks. Agar lebih memudahkan dan memahami pengertian mengenai Pendidikan Luar Sekolah, berikut ini adalah definisi yang diebrikan oleh salah satu ahli Pendidikan Luar Sekolah, yaitu Sudjana (1991:7), memberikan batasan mengenai Pendidikan Luar Sekolah sebagai berikut :

”Setiap usaha pendidikan dalam arti luas yang padanya terdapat komunikasi yang teratur dan terarah, diselenggarakan di luar sekolah sehingga seseorang atau sekelompok orang memperoleh informasi tentang pengetahuan, latihan dan bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai yang memungkinkan baginya untuk menjadi peserta yang lebih efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaannya, lingkungan masyarakat dan bahkan lingkungan negara.

Sedangkan Napitupulu (1981) dalam Sudjana (2001:49) memberi batasan bahwa :

”Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem sekolah, berlangsung seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk mengaktualisasi potensi manusia (sikap, tindak dan karya) sehingga dapat terwujud manusia seutuhnya yang gemar belajar-mengajar dan mampu meningkatkan taraf hidupnya.”

Selanjutnya dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No.73 tentang Pendidikan Luar Sekolah, dikemukakan bahwa “Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan atau tidak”. Selanjutnya Coombs dalam Sudjana (2001:22), mengemukakan pengertian Pendidikan Luar Sekolah sebagai berikut :

Pendidikan Non Formal ialah setiap kegiatan terorganisir dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan Pendidikan Luar Sekolah dilakukan secara terprogram, terencana, dilakukan secara mandiri ataupun merupakan bagian pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta didik dengan tujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin serta untuk mencapai kebutuhan hidupnya.

Fungsi Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem pendidikan nasional adalah sebagai berikut :

a. Mengembangkan nilai-nilai rohani dan jasmaniah peserta didik (warga belajar) atas dasar potensi-potensi yang dimiliki oleh mereka sehingga terwujud insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang, loyal, serta mencintai tanah air, masyarakat, bangsa dan negara.

b. Untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsa peserta didik agar mereka mampu memahami lingkungan, bertindak kreatif dan dapat mengaktualisasikan diri.

c. Untuk membantu peserta didik dalam membentuk dan menafsirkan pengalaman mereka, mengembangkan kerjasama, dan pastisipasi aktif mereka dalam memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan masyarakat.

d. Untuk mengembangkan cara berfikir dan bertindak kritis terhadap dan di dalam lingkungannya, serta untuk memiliki kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, walaupun dalam bentuknya yang paling sederhana, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi penghidupan dan kehidupan dirinya dan masyarakat.

e. Untuk mengembangkan sikap moral, tanggung jawab sosial, pelestarian nilai-nilai budaya, serta keterlibatan diri peserta didik dalam perubahan masyarakat dengan berorientasi ke masa depan.

2. Ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem nilai dari Pendidikan Nasional mempunyai nilai yang berbeda dengan pendidikan sekolah. Menurut model Paulston dalam Sudjana (2001:30-33) mencantumkan ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Berikut :

a. Dari segi tujuan :

1). Jangka pendek dan khusus, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang berfungsi bagi kehidupan masa kini dan masa depan.

2). Kurang menekankan pentingnya ijazah, hasil belajar, berijazah atau tidak, dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di lingkungan pekerjaan atau di masyarakat.

3). Ganjaran diperoleh selama proses dan akhir program, dalam bentuk benda yang diproduksi, pendapatan, keterampilan.

b. Dari segi waktu

1) Relatif singkat, jarang lebih dari satu tahun, pada umumnya kurang dari setahun, lamanya tergantung pada kebutuhan belajar peserta didik, persyaratan untuk mengikuti program ialah kebutuhan, minat, dan kesempatan waktu para peserta.

2) Menekankan masa sekarang dan masa depan. Memusatkan layanan untuk memenuhi kebutuhan terasa peserta didik guna meningkatkan kemampuan sosial ekonominya dalam waktu bebas. Menggunakan waktu tidak penuh dan tidak terus menerus, waktu ditetapkan dengan berbagai cara sesuai dengan kesempatan peserta didik, serta memungkinkan untuk melakukan kegiatan belajar sambil bekerja atau berusaha.

c. Dari segi isi program

1) Kurikulum berpusat pada kepentingan peserta didik, kurikulum bermacam ragam atas dasar perbedaan kebutuhan belajar peserta didik.

2) Mengutamakan aplikasi, kurikulum lebih menekankan keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungan.

3) Persyaratan masuk ditetapkan bersama peserta didik, karena program diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mengembangkan kemampuan potensial peserta didik maka kualifikasi pendidikan formal dan kemampuan baca tulis sering menjadi persyaratan umum.

d. Dari segi proses belajar mengajar

1) Dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga, kegiatan belajar dilakukan di berbagai lingkungan (masyarakat, tempat bekerja) atau disatuan pendidikan luar sekolah (sanggar kegiatan belajar) pusat pelatihan dan sebagainya.

2) Berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, pada waktu mengikuti program, peserta berada dalam dunia kehidupan dan pekerjaannya, lingkungan dihubungkan secara fungsional dengan kegiatan belajar.

3) Struktur program yang fleksibel, program belajar yang bermacam ragam dalam jenis dan urutannya. Pengembangan kegiatan dapat dilakukan sewaktu program sedang berjalan.

4) Berpusat pada peserta didik, kegiatan belajar dapat menggunakan sumber belajar dari berbagai keahlian dan juru didik. Peserta didik menjadi sumber belajar, lebih menitikberatkan kegiatan membelajarkan peserta didik dari pada mengajar.

5) Peghematan sumber-sumber yang tersedia, memanfaatkan tenaga dan sarana yang terdapat di masyarakat dan lingkungan kerja untuk menghemat biaya.

e. Dari segi pengendalian program

1) Dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik, pengendalian tidak terpusat, koordinasi dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, otonomi terdapat pada tingkat program dan daerah dan menekankan pada inisiatif dan partisipasi di tingkat daerah.

2) Pendekatan demokratis, hubungan antara pendidik dan peserta didik bercorak hubungan sejajar atas dasar kefungsian. Pembinaan program dilakukan secara demoktratis antara pendidika, peserta didik dan pihak lain yang berpartisipasi.

3. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan luar sekolah pada prinsipnya memiliki tujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam kualitas dan potensi dirinya melalui pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat, hal ini sebagaimana dikemukakan Seameo dalam Sudjana (2001:47) sebagai berikut :

“Tujuan pendidikan luar sekolah adalah untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat, dan bahkan negaranya”.

Dengan demikian pendidikan luar sekolah tidak hanya membekali warga belajarnya dengan sejumlah kemampuan (pengetahuan, sikap, dan lain-lain) melainkan juga mempersiapkan warga belajarnya untuk menjadi sumber daya manusia yang mampu mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya di tengah masyarakat.

Namun demikian PLS juga mengutamakan pelayanan kebutuhan individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan pribadi mereka melalui proses pendidikan sepanjang hayat.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1991 bahwa pendidikan luar sekolah bertujuan :

a. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.

b. Memenuhi warga belajar agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,

c. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.

C. Model Perencanaan Pendidikan luar Sekolah

1. Pengertian Model

Pengertian model seperti yang dikemukakan oleh Marzuki (1992:63) yaitu sebagai suatu pola atau aturan tentang sesuatu yang akan dihasilkan. Pengertian kedua adalah suatu contoh sebagai tiruan dari pada aslinya. Misalnya model pesawat terbang. Pengertian ketiga adalah seperangkat faktor atau variabel yang saling berhubungan satu sama lain yang merupakan unsur yang menggambarkan satu kesatuan sistem.

Apabila digunakan pengertian pertama maka model perencanaan adalah pola suatu rencana yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu atau terget tertentu. Di dalam perencanaan tentu banyak pola yang dipakai sesuai dengan perkiraan efektivitas untuk mencapai tujuan tertentu.

Apabila digunakan definisi yang kedua, maka model perencanaan adalah contoh bentuk perencanaan. Sedangkan apabila digunakan definisi yang ketiga, maka model perencanaan berarti seperangkat kegiatan yang berhubungan satu sama lain sebagai suatu kesatuan sistem perencanaan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Pengertian Perencanaan

Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana (2004:57) perencanaan adalah :

”proses sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Disebut sistematis karena perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut mencangkup proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi.”

Waterson (1965) mengemukakan bahwa :

”pada hakekatnya perencanaan merupakan usaha sadar, terorganisasi, dan terus menerus dilakukan untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif tindakan guna mencapai tujuan. Perencanaan bukan tindakan tersendiri melainkan suatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang kompleks.”

Schaffer (1970) menjelaskan bahwa apabila perencanaan dibicarakan, kegiatan ini tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut dimulai dengan perumusan tujuan, kebijakan, dan sasaran secara luas, yang kemudian berkembang pada tahapan penerapan tujuan dan kebijakan itu dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk dilaksanakan.

Yehezkel Dror dalam A. Faludi (1978) mengemukakan bahwa perencanaan adalah proses mempersiapkan seperangkat keputusan tentang kegiatan-kegiatan untuk masa yang akan datang dengan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan melalui pengguanaan sarana yang tersedia. Sejalan dengan prinsip tersebut, Friedman (1973:246) mengemukakan bahwa perencanaan adalah proses yang menggabungkan pengetahuan dan teknik ilmiah kedalam kegiatan yang diorganisasi. Suherman (1988) dalam buku Teknik-teknik Dasar Pembangunan Masyarakat mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu penentuan urutan tindakan, perkiraan biaya serta penggunaan waktu untuk suatu kegiatan yang didasarkan atas data dengan memperhatikan prioritas yang wajar dengan efisien untuk tercapainya tujuan.

Berdasarkan beberapa pengertian dan prinsip diatas dapat dikemukakan bahwa keputusan yang diambil dalam perencanaan berkaitan dengan rangkaian tindakan atau kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan di masa yang akan datang. Rangkaian tindakan atau kegiatan itu perlu dilakukan karena dua alasan, pertama, untuk mewujudkan kemajuan atau keberhasilan sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan alasan kedua, ialah supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, dan kondisi yang sama atau lebih rendah daripada keadaan pada saat ini.

3. Fungsi dan Karakteristik Perencanaan Pendidikan Non Formal

Perencanaan pendidikan non formal merupakan kegiatan yang berkaitan dengan Pertama, uapaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang dapat disediakan. Sumber itu meliputi sumber daya manusia dan sumber daya non manusia. Sumber daya manusia mencangkup pamong belajar, fasilitator, tutor, warga belajar, pimpinan lembaga, dan masyarakat. Sumber daya non manusia meliputi fasilitas, alat-alat waktu, biaya, alam hayati, dan anatu non hayati, sumber daya buatan, dan lingkungan sosial budaya. Kedua, perencanaan merupakan kegiatan untuk mengerahkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efisien adn efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan perencanaan diharapkan dapat dihindari pentimpangan sekecil mungkin dalam penggunaan sumber-sumber tersebut.

Sesuai dengan pengertian diatas, maka Sudjana (2004:59) mengemukakan bahwa perencanaan pendidikan non formal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Perencanaan merupakan model pengambilan keputusan secara rasional dalam memilih dan menetapkan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan.

2. Perencanaan berorientasi pada perubahan dari keadaan masa sekarang kepada suatu keadaan yang diinginkan dimasa datang sebagaimana dirumuskan dalam tujuan yang akan dicapai.

3. perencanaan melibatkan orang-orang ke dalam suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang dinginkan.

4. perencanaan memberi arah mengenai bagaimana dan kapan tindakan akan diambil serta siapa pihak yang terlibat dalam tindakan atau kegiatan itu.

5. perencanaan melibatkan perkiraan tentang semua kegiatan yang akan dilalui atau akan dilaksanakan. Perkiraan itu meliputi kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan keberhasilan, sumber-sumber yang digunakan, faktor-faktor pendukung dan penghambat, serta kemungkinan resiko dari suatu tindakan yang akan dilakukan.

6. perencanaan berhubungan dengan penentuan prioritas dan urutan tindakan yang akan dilakukan. Prioritas ditetapkan berdasarkan urgensi atau kepentingannya, relevansi dengan kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber yang tersedia, dan hambatan yang mungkin dihadapi.

7. perencanaan sebagai titik awal untuk dan arahan terhadap kegiatan pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan.

Secara lebih rinci, Sudjana (1993:42-43) mengemukakan pula bahwa perencanaan memiliki karakteristik sebagai berikut :

”(1) Merupakan model pengambilan keputusan secara rasional dalam memilih dan menetapkan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, (2) Berorientasi pada perubahan dari keadaan masa sekarang kepada suatu keadaan yang diinginkan pada masa depan, (3) Perencanaan melibatkan orang-orang kedalam suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang diinginkan, (4) Memberi arah tentang bagaimana dan kapan tindakan itu, (5) Melibatkan perkiraan tentang semua kegiatan yang dilalui, (6) Berhubungan dengan penentuan prioritas dan urutan tindakan yang akan dilakukan”.

4. Prinsip-prinsip Perencanaan

Prinsip perencanaan Pendidikan luar sekolah yang dikemukakan oleh Sudjana (2004:57) :

perencanaan merupakan proses sistematis karena menggunakan prinsip-prinsip tertentu, prinsip tersebut mencangkup proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau kegiatan yang terorganisir”.

Keputusan yang diambil dalam menetapkan urutan rangkaian tindakan didasarkan pada alasan: untuk mewujudkan keinginan atau keberhasilan sesuai dengan kriteria, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, yaitu keadaan tidak berubah atau mundur, dan menggambarkan bagaimana kegiatan itu dilaksanakan.

a. Prinsip proses pengambilan keputusan

Schaffer (1970) menjelaskan bahwa apabila perencanaan dibicarakan, kegiatan ini tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang kompleks. Proses pengambilan keputusan tersebut dimulai dengan perumusan tujuan, kebijakan, dan sasaran secara luas, yang kemudian pada tahapan penerapan tujuan dan kebijakan itu dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk dilaksanakan.

Sesuai dengan Yehezkel Dror dalam A. Faludi (1978) mengemukakan bahwa ”perencanaan adalah proses mempersiapkan seperangkat keputusan tentang kegiatan-kegiatan untuk masa yang akan datang dengan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan melalui penggunaan sarana yang tersedia”.

b. Prinsip penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah

Friedman mengungkapkan bahwa ”perencanaan adalah proses yang menggabungkan pengetahuan dan teknik ilmiah kedalam kegiatan yang diorganisasi. Sedangkan Suherman (1988) dalam Sudjana (2004:58) mengungkapkan bahwa ”perencanaan adalah suatu penentuan urutan tindakan, perkiraan biaya serta penggunaan waktu untuk suatu kegiatan yang didasarkan atas data dengan memperhatikan prioritas yang wajar dengan efisien untuk tercapainya tujuan”.

c. Prinsip tindakan atau kegiatan yang terorganisir

Ginan dalam orasi personal (Panazaba – Hari Anti Napza Nasional, 26 Juni 2007) mengungkapkan bahwa :

”setiap perencanaan akan berjalan dengan baik apabila ada pengaturan tindakan yang kemudian dilembagakan secara benar, berbentuk sebuah pengorganisasian atau pengerahan kemampuan”.

Selanjutnya dalam pengelolaan suatu perencanaan, Komarudin (Sunarto, 2001:67) menyarankan menggunakan 15 (lima belas) prinsip. Prinsip-prinsip pengelolaan suatu perencanaan tersebut adalah :

”(1) Principles of comprehensiveness, yaitu perencanaan harus mampu menggambarkan keseluruhan aspek atau komponen dan proses yang akan dilaksanakan, (2) Principles of Complexity, yaitu perencanaan menggambarkan tingkat kerumitan proses, tingkatan, urutan dan prasarat yang harus didukung oleh pemilih strategi untuk mengontrol program, (3) Principles of significance, yaitu memiliki kesesuaian yang tinggi antara komponen, (4) Principles of specificity, yaitu ditandai dengan adanya prioritas tertentu dari keseluruhan tujuan yang akan dicapai, (5) Principles of primacy of dimension, yaitu dilengkapi kriteria keberhasilan, (6) Principles of completeness, yaitu antara komponen yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi, (7) Principles of time, yaitu memiliki ketepatan waktu dalam pelaksanaan, (8) Principles of flexibility, yaitu memiliki peluang untuk mengadakan perubahan, (9) Principles of frequency, yaitu perencanaan yang dilakukan merupakan upaya untuk memecahkan masalah, (10) Principles of formality, yaitu mencangkup frekuensi pertemuan, kapan monitoring dan ebrapa kali evaluasi dilakukan, (11) Principles of authorization, yaitu memberi wewenang tertentu kepada pihak yang terlibat dalam pelatihan, (12) Principles of ease implementation, yaitu memberikan arah tentang langkah-langkah dan mempermudah pelaksanaan kegiatan, (13) Principles of confidential nature, yaitu perencanaan yang dilaksanakan ada yang tidak dapat diketahui oleh semua pihak, (14) Principles of ease of control, yaitu perencanaan harus memiliki fungsi mengontrol semua kegaitan yang harus dilakukan, (15) Principles of relationship of dimension, yaitu memiliki kriteria-kriteria untuk mengukur keberhasilan”.

Prinsip-prinsip dalam perencanaan tersebut menggambarkan betapa banyaknya aktivitas perencanaan agar menghasilkan suatu rancangan seacra utuh, menggambarkan keseluruhan proses, strategi, fasilitas dan berbagai langkah yang harus dilaksanakan oleh semua sumber daya pelatihan pada konteks sosial yang tepat dan memiliki kesesuaian tinggi terhadap kondisi saat ini maupun masa mendatang.

5. Jenis-jenis Perencanaan

Sudjana (2004:60) mengungkapkan bahwa perencanaan yang diterapkan dalam pendidikan nonformal dapat diklasifikasi menjadi dua jenis, yaitu perencanaan alokatif (allocative planning) dan perencanaan Inovatif (innovative planning). Perencanaan inipun dapat bercorak tingkat lembaga atau lintas sektoral. Friedman (1972) mengemukakan bahwa dalam perencanaan lintas sektoral akan terjadi kegiatan saling belajar melalui proses hubungan antar manusia di antara semua pihak yang terlibat dalam proses penentuan tujuan organsisasi dan dalam merumuskan rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Pada umumnya semua yang terlibat dalam perencanaan memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk melakukan kegiatan dalam perencanaan. Gambaran umum mengenai kedua jenis perencanaan itu adalah :

A. Perencanaan Alokatif (Allocative Planning)

Perencanaan Alokatif (Allocative Planning) ditandai dengan upaya penyebaran atau pembagian (alokasi) sumber-sumber yang jumlahnya terbatas kepada kegiatan-kegiatan dan pihak-pihak yang akan menggunakan sumber-sumber tersebut yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan sumber-sumber yang akan disebarkan. Upaya penyebaran ini pada umumnya dilakukan secara rasional pada organisasi atau lembaga ditingkat pusat (nasional). Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS) merupakan salah satu contoh yang sering digunakan dalam tipe perencanaan alokatif. Penyebaran sumber-sumber yang tersedia dalam PPBS dilakukan secara rasional.

Perencanaan alokatif memiliki tiga ciri utama. Ciri pertama, perencanaan dilakukan secara komprehensip atau menyeluruh. Kedua, adanya keseimbangan atau keserasian anatara komponen-komponen kegiatan.sedangkan ciri ketiga, adanya alasan fungsional untuk melakukan perencanaan.

Perencanaan Alokatif menurut Friedman (1973) dalam Sudjana (2004:66), dapat dikategorikan kedalam empat tipe yaitu: perencanaan berdasarkan perintah (command planning), perencanaan berdasarkan kebijakan (policies planning), perencanaan berdasarkan persekutuan (corporate planning), dan perencanaan berdasarkan kepentingan peserta (participant Planning).

B. Perencanaan Inovatif (Innovative Planning)

Perencanaan inovatif merupakan proses penyusunan rencana yang menitikberatkan perluasan fungsi dan wawasan kelembagaan untuk memecahkan permasalahan kehidupan masyarakat yang menjadi layanan berbagai lembaga. Perencanaan ini ditandai dengan adanya upaya pengembangan gagasan dan kegiatan baru dalam memecahkan masalah. Berbagai keahlian teknis dilibatkan secara terpadu dalam perencanaan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat luas. Proses dalam perencanaan tidak hanya untuk menghasilkan suatu rencana melainkan juga untuk mewujudkan fungsi diantara para perencana dari berbagai bidang kegiatan lembaga-lembaga terkait. Proses inipun berkaitan dengan kesinambungan antara perencanaan dan pelaksanaan progam dalam upaya pemecahan masalah.

Perencanaan inovatif sering dirahkan untuk memecahkan permasalahann besar yang dihadapi masyarakat. Permasalahan itu seperti meningkatnya jumlah pengangguran, meluasnya kemiskinan, rendahnya pendidikan masyarakat pedesaan, kesemerawutan daerah kumuh diperkotaan, kegagalan sistem pendidikan, tingginya angka pertumbuhan penduduk, maraknya kenakalan remaja, tawuran anak-anak sekolah, Napza, dan menurunkanya kualitas lingkungan hidup. Permasalahan tersebut perlu dihadapi bersama oleh lembaga-lembaga terkait dengan menggunakan perencanaan baru, dan bukan menggunakan perencanaan alokatif sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Chamberlain (1965) dalam Sudjana (2004:59) menjelaskan bahwa perencanaan inovatif adalah tipe perencanaan untuk mengahadapi masalah-masalah besar yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan perencanaan konvensional, melainkan harus menggunakan suatu pola perencanaan yang baru.

Sudjana (2004:84) mengungkapkan perencanaan inovatif memiliki tiga ciri pokok, yaitu : pembentukan lembaga baru, orientasi pada tindakan atau kegiatan, dan penggerakkan sumber-sumber yang diperlukan.

1. Ciri Pokok Perencanaan Inovatif

a. Pembentukkan Lembaga Baru

Perencaaan inovatif pada dasarnya berhubungan dengan penjabaran prinsip-prinsip umum perencanaan yang telah dilakukan oleh lembaga terkait kedalam perencanaan yang disusun oleh lembaga baru yang dibentuk atas kesepakatan lembaga tersebut. Pembentukan lembaga baru tersebut didasarkan atas kepentingan lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam menangani permasalahan khusus. Baik secara nasional, daerah maupun lokal, yang memerlukan pemecahan secara bersama itu menyangkut pendayangunaan sumber daya (manusia dan non manusia) yang terdapat pada lembaga masing-masing, pembagian garapan dan tugas tiap lembaga.

Ciri-ciri penting dalam perencanaan inovatif. Pertama, adanya lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga terkait atau sektor-sektor. Lembaga baru mempunyai fokus perhatian pada masalah-masalah yang perlu digarap secara bersama. Kedua, Pemecahan masalah dilakukan melalui pendekatan secara menyeluruh (komprehensip). Program-program untuk pemecahan masalah disusun karena alasan-alasan khusus. Lembaga baru berperan untuk mewakili fungsi-fungsi lembaga yang membentuknya dalam memberikan pelayanan secara efisien dan efektif terhadap khalayak sasaran di masyarakat yang membutuhkannya, melalui berbagai program sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan sesuai juga dengan potensi yang ada di lembaga-lembaga. Ketiga, lahirnya lembaga baru tidak dimaksudkan untuk menambah anggaran biaya lembaga-lembaga yang membentuknya, karena pembiayaan program-program lembaga baru berasal dari anggaran biaya yang telah ada pada lembaga-lembaga yang membentuk lembaga baru tersebut.

Keempat, hasil yang dicapai dalam perencanaan inovatif tidak biasa dinilai dengan menggunakan analisis sektoral sebagaimana biasa digunakan di lembaga masing-masing. Keberhasilan perencanaan inovatif dinilai secara menyeluruh karena merupakan usaha bersama melalui lembaga baru.

Kelima, lembaga baru lebih bersifat pembaharu (reformist). Lembaga ini dibentuk untuk memperbaharui sistem pelayanan yang telah ada dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan tidak dapat dilakukan secara sektoral. Ciri terakhir ini berkaitan dengan kecenderungan bahwa semakin maju suatu masyarakat, maka makin berkembang pula spesalisasi. Namun betapapun tajamnya suatu spesialisasi, masing-masing tidak dapat memecahkan masalah umum dengan tuntas. Oleh karena itu diperlukan kerjasama lintas sektoral dan antardisiplin. Pada gilirannya, perencanaan inovatif dapat memperkuat hubungan antar lembaga dan dapat menumbuhkan sistem pelayanan secara terpadu. Singkatnya, perencanaan inovatif dilakukan dalam pembentukan lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sektoral yang terkait dengan maksud untuk memecahkan masalah bersama secara menyeluruh dan untuk meningkatkan mutu pelayanan secara terpadu kepada masyarakat.

b. Berorientas Pada Kegiatan

Tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan lembaga baru serta pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan itu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Perencanaan inovatif merupakan jawaban kretaif dari lembaga-lembaga terkait terhadap permasalahan yang muncul dalam situasi khusus.

Pelaksanaan program pemecahan masalah secara bersama mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan oleh lembaga baru pada saat perencanaan sedang dilakukan. Apabila dampak itu muncul pada waktu pelaksanaan program, maka perencanaan inovatif memberikan kesempatan kepada perencana untuk setelah mendapatkan masukan dari lapangan, untuk menentukan tujuan-tujuan antara (intermediate-goals) dalam upaya mencapai tujuan akhir yang telah ditentukan pada saat perencanaan. Dalam perencanan inovatif upaya mencari dan memilih alternatif kegiatan yang efektif untuk mencapai tujuan antara perlu dilakukan melalui pertimbangan rasional. Adapun upaya secara berkelanjutan untuk melakukan kegiatan yang efektif itu disebut strategi kegiatan.

Ada dua strategi kegiatan dalam perencanaan inovatif yang berhasil. Strategi pertama, sebagai kegiatan dasar adalah pengembangan upaya lembaga baru untuk membina hubungan yang erat dan berkelanjutan dengan lembaga-lembaga terkait yang membentuk lembaga baru tersebut. Strategi kedua adalah mekanisme kegiatan yang terfokus pada pencapaian tujuan lembaga baru itu sendiri.

c. Pengerahan Sumber-Sumber

Dalam perencanaan inovatif, para perencana biasanya bertindak sebagai wirausahawan yang aktif melalui kegiatan mencari, mengerahkan, mengorganisasi, dan mendayangunakan sumber-sumber yang tersedia baik di dalam maupun diluar lembaga-lembaga terkait, termasuk sumber-sumber dari masyarakat.

Perluasan peranan perencana sebagai wirausahawan itu disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, kehadiran lembaga baru, terutama pada tahap awal belum diyakini benar kehandalannya oleh semua pihak dan belum memperoleh dukungan optimal dari lembaga-lembaga tersebut. Kedua, perencana melakukan komunikasi dan negosiasi secara aktif dengan lembaga-lembaga terkait agar tercapai kesepakatan tentang manfaat dan fungsi lembaga baru bagi kepentingan misi dan fungsi lembaga masing-masing.

Ketiga, keberhasilan lembaga baru dapat terwujud apabila lembaga-lembaga terkait memberi dukungan kuat secara berkelanjutan, menyetujui dan mengikuti prosedur yang ditetapkan lembaga baru, menerima laporan terutama tentang penggunaan sumber-sumber, dan merasakan manfaat langsung dari kehadiran lembaga baru itu untuk membantu fungsi lembaga masing-masing.

D. Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Program Pendidikan Luar Sekolah

Berdasarkan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal 26 ayat (3), dan penjelasannya bahwa pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencangkup Program Paket A, Paket B, dan Paket C.

Pendidikan Kesetaraan meliputi Program Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Definisi mengenai setara adalah sepadan dalam civil effect, ukuran, pengaruh, dan kedudukan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 ayat (6) bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pengertian mengenai pendidikan kesetaraan adalah jalur pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi konten, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep-konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan dan melatih kecakapan hidup berorientasi kerja atau berusaha sendiri.

Standar kompetensi lulusan pendidikan kesetaraan diberi catatan khusus. Catatan khusus meliputi: (i) pemilikan katerampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (untuk Paket A); (ii) pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja (untuk Paket B); (iii) pemilikan keterampilan berwirausaha (untuk Paket C). Perbedaan ini disebabkan oleh kekhasan karakteristik peserta didik yang karena berbagai hal tidak mengikuti jalur formal karena memerlukan substansi praktikal yang relevan dengan kehidupan nyata.

Reformasi kurikulum pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan insan Indonesia cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung termarjinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional dan sosial, intelektual, dan kinestetik.

Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar-keilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Sistem pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar memiliki kekuatan tersendiri, untuk mengembangkan kecakapan komprehensif dan kompetitif yang berguna dalam peningkatan kemampuan belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif dan konstruktif.

Proses pembelajaran pendidikan kesetaraan lebih menitik beratkan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta cara berfikir untuk memecahkannya melalui pendekatan antar-disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahan yang sedang dipecahkan. Dengan demikian, penilaian dalam pendidikan kesetaraan dilakukan dengan lebih mengutamakan uji kompetensi.

Program Pendidikan kesetaraan merupakan solusi bagi :

1. Masyarakat yang tidak mengikuti atau tidak menyelesaikan pendidikan formal karena banyak alasan

2. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas belajar sendiri dengan Flexyibel Learning.

3. Kelompok masyarakat yang menentukan pendidikan kesetaraan atas pilihan sendiri

4. Merupakan layanan khusus bagi mereka yang putus sekolah, etnis minoritas, suku terasing, anak jalanan, korban penyalahgunaan Napza, anak-anak yang kurang mampu, anak Lapas atau Anak yang bermasalah dengan sosial/hukum, dan peserta didik dewasa.

Pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung termajinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, social, intelektual dan kinestetik.

Strategi pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar-keilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Kurikulum dikembangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan :

1. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia.

2. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian

3. Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

4. Kelompok mata pelajaran Estetika

5. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan meliputi 10 mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Sepuluh mata pelajaran itu meliputi:

1. Pendidikan Agama

2. Pendidikan Kewarganegaraan

3. Bahasa

4. Matematika

5. Ilmu Pengetahuan Alam

6. Ilmu Pengetahuan Sosial

7. Seni dan Budaya

8. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan

9. Keterampilan / Kejuruan

10. Muatan Lokal

Kurikulum kesetaraan mengembangkan kecakapan hidup yang terdiri atas : kecakapan pribadi, kecakapan intelektual, kecakapan sosial dan kecakapan vokasional.

Bahkan Materi kecakapan hidup tersebut terintegrasi dalam jadwal dan jam belajar pendidikan kesetaraan, sesuai dengan target yang dicanangkan untuk masing-masing tingkatan pendidikan kesetaraan.

Jam belajar pendidikan kesetaraan meliputi :

PAKET A setara SD/MI kelas Awal

PAKET A setara SD/MI Kelas Akhir

PAKET B setara SMP/MTs

PAKET C setara SMA/MA

– 595 jam/tahun atau

– 680 jam/tahun atau

– 816 jam/tahun atau

– 969 jam/tahun atau

– 180 hari/tahun atau

– 180 hari/tahun atau

– 180 hari/tahun atau

– 180 hari/tahun atau

– 3,3 jam/hari atau

-3,8 jam/hari atau

– 4,5 jam/hari atau

– 5,4 jam/hari atau

– 34 minggu/tahun

34 minggu/tahun

– 34 minggu/tahun

-34 minggu/tahun

– 30 SKS/semester @ 35 menit

30 SKS/ Semester @ 40 menit

– 34 SKS/Semester @ 40 menit

– 38 SKS/Semester @ 45 menit

Tabel 2.1

Pembagian jam belajar Pendidikan Kesetaraan

Catatan :

1. Substansi kerumahtanggaan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran terkait.

2. untuk Paket B dan Paket C diberikan mata pelajaran keterampilan kerja sebanyak 4 SKS yang memuat etika bekerja, ekonomi lokal, dan keterampilan bermatapencaharian.

3. Mata Pelajaran Keterampilan kerja diberikan pada tahun terakhir semester awal.

Sasaran peserta didik pendidikan kesetaraan adalah masyarakat yang karena berbagai hal tidak dapat mengikuti pendidikan formal mlsalnya mereka yang :

1. Mempunyai kesulitan sosial ekonomi seperti, petani, nelayan, anak jalanan dan sejenisnya.

2. Berada di pondok pesantren yang belum menyelenggarakan pendidikan.

3. Etnik Minoritas, terisolasi karena alasan geografis.

4. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas belajar sendiri dengan flexy learning.

5. Kelompok. Masyarakat yang menentukan pendidikan kesetaraan atas pilihan sendiri.

Selanjutnya yang dapat menyelenggarakan pendidikan kesetaraan adalah :

  1. Sanggar kegiatan belajar (SKB)
  2. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
  3. Lembaga Kursus
  4. Komunitas Belajar
  5. Pondok Pesantren
  6. Takmin Masjid/ Mushola dan Pusat Majelis Ta’lim
  7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
  8. Yayasan Badan Hukum atau Badan Usaha
  9. Organisasi Kemasyarakatan
  10. Organisasi Sosial Masyarakat
  11. Organisasi Keagamaan
  12. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Diklat Perikanan
  13. UPT Diklat Pertanian
  14. UPT Diklat Transmigrasi

Penyelenggara tersebut harus mempunyai struktur organisasi yang sekurang‑kurangnya terdiri dari:

1) Ketua Penyelenggara

2) Tenaga Pendidik : a). Tutor Mara Pelajaran, b). Nara Sumber Teknis (untuk pelajaran berorientasi vokasional) atau c). Tutor kecakapan hidup (sementara. Berlaku di 6 daerah uji coba)

Guna mendukung proses belajar mengajar dalam program Pendidikan Kesetaraan tersebut maka diperlukan adanya sarana dan prasarana penunjang, seperti :

  1. Tempat Belajar

Proses belajar mengajar dapat dilaksanakan di berbagai lokasi dan tempat yang sudah ada baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, madrasah, sarana‑sarana yang dimiliki pondok pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), masjid, pusat‑pusat majelis taklim, balai desa, kantor organisasi‑organisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan tempat‑tempat lainnya yang layak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar

  1. Administrasi

Untuk menunjang kelancaran pengelolaan kelompok belajar diperlukan sarana administrasi sebagai berikut :

a. Papan nama kelompok belajar.

b. Papan Struktur orgainisasi penyelenggara.

c. Kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran, yang meliputi:

i .Buku induk peserta didik dan tenaga pendidik.

ii. Buku daftar hadir peserta didik dan tenaga pendidik

iii. Buku keuangan/kas umum.

iv. Buku daftar inveritaris.

v. Buku agenda pembelajaran.

vi. Buku laporan bulanan tenaga pendidik.

vii. Buku agenda surat masuk dan keluar.

Buku tanda terima ijazah.

Buku daftar nilai peserta didik.

Dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan kesetaraan berlangsung dengan baik, maka dilakukan pembinaan dan pengawasan:

a. Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C melalui standar, norma, prosedur dan acuan teknis pengelolaan kelompok belajar.

b. Kasubdin Propinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi PLS membina pelaksanaan penyelenggaraan, kegiatan belajar, evaluasi dan kegiatan lain yang berkaitan.

c. Penilik Dikmas/TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) di Kecamatan memantau pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara rutin.

Sistem penilaian pendidikan kesetaraan dilakukan dengan:

a. Penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul.

b. Penilaian formatif oleh tutor nelalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio, dalam. Proses tutorial.

c. Penilaian semester.

d. Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.

Ujian nasional untuk program Paket A, Paket B, dan Paket C dan dimaksudkan untuk menyetarakan lulusan peserta didik dari pendidikan nonformal dengan pendidikan formal/sekolah. Hal ini sesuai dengan Undang‑Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dail Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Lulusan Ujian nasional program pendidikan kesetaraan memperoleh pengakuan, lulusan Paket A setara dengan lulusan SD/Ml, lulusan Paket B setara dengan lulusan SMP/MTs, dan lulusan Paket C setara dengan Lulusan SMA/MA. Ujian Nasional diselenggarakan selama 2 kali setiap tahun yaitu periode pertama pada bulan April dan Mei, kemudian periode kedua pada bulan Oktober.

Peserta Ujian nasional adalah warga belajar pada program Paket A, Paket B, dan Paket C dengan persyaratan adiministratif sebagai berikut:

a. Terdaftar sebagai peserta didik dan tercatat dalam Buku Induk, pada satuan pendidikan nonformal penyelenggara Program Paket A, Paket B, atau Paket C

b. Memiliki STTB atau Ijazah atau Surat Keterangan Yang Berpenghargaan

Sama (SKYBS) dengan STTB/Ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat

lebih rendah;

c. Duduk di kelas/tingkat terakhir (Kelas VI Untuk Paket A, Kelas III untuk Paket

B dan Paket C).

d. Telah menyelesaikan seluruh materi pembelajaran dan memiliki laporan hasil

penilaian/rapor;

d. Telah berumur sekurang‑kurangnya 12 tahun untuk Paket A, 15 tahun untuk Paket B, dan 18 tahun Paket C.

e.

Mata pelajaran yang diujikan sebagai berikut:

a. Paket A, meliputi mata pelajaran PPKn, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA

b. Paket B, meliputi mata pelajaran PPKn, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPA.

c. Paket C IPS, meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ekonomi

d. Paket C IPA, meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika dan Matematika.

e. Paket C Bahasa, meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia, dan Bahasa Asing pilihan

E. Pendidikan Kesetaraan Dan Pesan UUD 1945

Pendidikan nasional memainkan peranan yang sangat penting, khususnya bagi pembangunan kehidupan intelektual nasional. Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945 dengan tegas mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional. Pada Pasal 31 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga . negara berhak mendapatkan pendidikan. Sedangkan pada Pasal 31 Ayat (2) berbunyi bahwa setiap warga negara. Wajib mengikuti pen­didikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Aman­demen ini hasil dari pengakuan bahwa pendidikan adalah institusi sosial utama yang harus didukung oleh institusi so­sial lainnya termasuk hukum, sosial‑budaya, ekonomi, dan politik sebagai suatu kesadaran kolektif. Pendidikan sepa­tutnya juga responsif terhadap ketidakseimbangan struktur populasi penduduk, kesenjangan sosio‑ekonomi., kesen­jangan teknologi, penyesuaian sendiri terhadap nilai‑nilai baru dalam era globalisasi; dan ini sepatutnya diarahkan ke­pada pembangunan karakter nasional.

Pentingnya pendidikan tersebut, lebih lanjut diuraikan dalam UndangUndang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 5 yang berbunyi:

1) Setiap warga negara. Mempunyai hak yang sama untuk memeproleh pendidikan yang bermutu

2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus

3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

4) Warga negara yang memiliki potetisi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus..

5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Untuk mewujudkan amanah tersebut maka diperlukan sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, kerutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Iniasiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting.

Secara jelas di dalam Pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pemben­tukan komite sekolah pun belum keseluruhannya dilaku­kan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.

Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga, saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih di bawah 20% sebagaimana amanat Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2‑5%.

Akibatnya adalah di berbagai daerah, pendidikan masih berada dalam kondisi memprihatinkan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, minimnya fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak‑anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.

Bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya cenderung mengekang kreativitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pengekangan kreativitas ini disebabkan pula karena kentalnya paradigma yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri.

Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi kemampuan akademik. Indikator yang dipergunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga nilai rapor maupun ijazah tidak serta merta menunjukkan kompetensi peserta didik untuk bersaing atau bertahan dalam era industrialisasi dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy).

Fakta lain adalah berkembangnya pendidikan menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual‑beli gelar. Jual-beli ijazah hingga jual‑beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis‑bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.( Adi Gumilar, 2006:7)

F. Pendidikan Kesetaraan Dan Wajib Belajar

Pendidikan nasional di Indonesia masih menghadapi tiga tantangan besar yang kompleks. Tantangan pertama, sebaga’ akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil‑hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga.

Dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu, pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol, yaitu: (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis.

Undang‑Undang Dasar 1945 (Amandemen Bab XIII Pasal 31) dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas mengamanahkan pentingnya pendidikan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. Untuk itu, maka permasalahan tersebut perlu diatasi dengan segera guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem penyelenggaraan pendidikan nasional dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu: formal, nonformal dan informal.

Pendidikan jalur formal sudah banyak dipahami oleh masyarakat, dimana sistem penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara formal seperti yang banyak terlihat di sekitar kita. Namun pendidikan nonformal dan infor­mal atau lebih dikenal dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan jalur pendidikan yang masih banyak belum mendapat pemahaman dan perhatian yang profesional dari pemerintah maupun masyarakat dalam sistem pembangunan nasional. Minimnya pemahaman, baik yang berkenaan dengan peraturan perundangan maupun dukungan anggaran menyebab­kan pemerataan pelayanan PLS bagi masyarakat di berbagai lapisan dan diberbagai daerah belum dapat dilaksanakan secara optimal.

Pentingnya pendidikan nonformal, maka dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 menyebutkan bahwa:

1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau. Pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

(5) kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pemerintah telah membentuk Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional dengan tugas utama untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang pendidikan kesetaraan.

Peran pendidikan kesetaraan sangat strategis dalam rangka memberikan bekal pengetahuan dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Mengingat, warga belajar yang dilayani adalah masyarakat yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, TKI di luar negeri, calon TKI, masyarakat di daerah‑daerah khusus, seperti daerah perbatasan, daerah bencana, dan daerah yang terisolir dengan fasilitas pendidikan belum ada, dan sebagainya, maka pendidikan kesetaraan akan sangat membantu dalam memperoleh pendidikan.

Warga belajar yang sangat spesifik demikian, maka kurikulum yang diajarkan juga berbeda dengan pendidikan formal. Misal, program Paket B (setara SMP/MTs), pembagian bobot muatan substansi kajian pengetahuan adalah 60%, dan muatan keterampilan hidup adalah 40%. Selain itu, layanan pendidikan kesetaraan, baik bagi masyarakat pedesaan maupun masyarakat miskin di perkotaan tetap mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: (1) perencanaan integratif, (2) memahami budaya setempat, (3) penguasaan bahasa, (4) akses kepada pendidikan dasar yang mengacu kepada keterampilan hidup yang sesuai dengan potensi lokal, budaya, dan sumberdaya.

Peran strategis pendidikan kesetaraan Paket B terhadap program wajib belajar secara nasional mencapai sekitar 3%. Sedangkan jumlah lulusan warga belajar yang mengikuti program Paket A, Paket B, dan Paket C terus meningkat. Secara nasional, program Paket C antara tahun 2004-2005 terjadi kenaikan jumlah lulusan sebesar 76,43%. Warga didik yang mengikuti program Paket A sekitar 59.109 orang pada tahun 2004, sedangkan tahun 2005 meningkat hampir dua kali lipat yaitu 104.284 orang. Demikian pula halnya dengan program Paket B dan Paket C, terjadi kenaikan lulusan sebesar 15,93% dan 56,36 % .

Tinggalkan komentar